Perjamuan Tuhan dan Praksis Gereja


Perjamuan Tuhan dan Praksis Gereja
(Oleh: Danang Kristiawan)[*]


Menjelang paskah setiap gereja mempersiapkan perjamuan Kudus (Jemaat awal memakai istilah perjamuan Tuhan. mis: 1 Kor 11:20). Bisanya itu merujuk pada ketetapan perjamuan malam oleh Yesus sebelum ia ditangkap (Lukas 22:19). Sebenarnya perjamuan Tuhan, dalam bentuk perjamuan makan, tidak hanya pada peristiwa menjelang penangkapan Yesus saja. Beberapa kisah dalam Perjanjian Baru melaporkan adanya perjamuan Yesus dan para murid, khususnya setelah kebangkitan-Nya (Lukas 24:13-35; 24:43; Mrk 16:14; Yoh 21:1-14). Perjamuan makan yang dilakukan Yesus, baik ketika menjelang kematian-Nya maupun setelah Ia bangkit, menunjukkan pokok pengalaman iman yang sama yaitu kehadiran Tuhan di tengah umatnya untuk merasakan dan merayakan kebersamaan dengan-Nya
Bagi gereja-gereja, perjamuan Tuhan merupakan peristiwa yang dianggap suci. Itu dapat dilihat dari persiapan dan antusiasme jemaat dalam menerima perjamuan Tuhan. Sebelum pelaksanaan perjamuan tuhan biasanya gereja mengadakan pendadaran, dengan harapan jemaat benar-benar siap menerima perjamuan Tuhan.  Itu semua dilakukan karena kesucian dari perjamuan Tuhan. Orang tidak boleh main-main dan harus menyucikan diri terlebih dahulu sebelum mengikutinya.
Namun sayangnya kesucian perjamuan Tuhan ini cenderung dipahami sebagai kesucian individual saja. Dalam arti bahwa perjamuan Tuhan dimaknai secara sempit sebagai sebuah perayaan keselamatan rohaniah individual saja. Llihatlah misalnya “aturan-aturan” yang dibacakan pada waktu perjamuan Tuhan, selain membosankan karena memakai bahasa gereja yang terlalu tinggi, isinya pun hanya bertitik berat pada kerohanian individu. Kesucian dalam perjamuan Tuhan dimaknai sebagai kesalehan pribadi. Orang yang dianggap berdosa tidak boleh ikut perjamuan tersebut karena dipandang melecehkan kesucian dari perjamuan kudus. Jemaat diminta untuk menguji diri. Dan lagi-lagi menguji diri yang dimaksud adalah menguji sejauh mana dirinya merasa layak untuk ikut atau tidak terkait dengan apakah ia hidup dalam dosa atau tidak.
Ketika perjamuan Tuhan dimaknai sebatas pada tataran spiritual individualistik, maka di situ telah terjadi penggerogotan makna perjamuan Tuhan itu sendiri! Ada prinsip utama yang tidak boleh terlewatkan dalam perjamuan Tuhan yaitu aspek etis dari perjamuan Tuhan. Maksudnya, perjamuan Tuhan memiliki keterkaitan erat dengan tindakan sosial sebagai sesuatu yang melekat dalam perjamuan Tuhan itu sendiri.
Perjamuan Tuhan adalah sebuah ingatan yang hidup (living memory) akan kematian dan kebangkitan Yesus (memoria pasionis, mortis et resurrectionis Jesu Christi) serta pengharapan kedatangan-Nya yang kedua. Dalam perjamuan Tuhan, umat tidak hanya diajak untuk beromantika akan masa lalu saja, atau sekedar mengetahui makna dari simbol-simbol yang digunakan, tetapi juga diajak untuk menghidupi ingatan akan Yesus. Ingatan akan Yesus tentu tidak sekedar kematian dan kebangkitan-Nya saja tetapi juga hidup, misi, pelayanan, dan perjuangan-Nya (unsur-unsur yang terlewatkan dalam pengakuan iman rasuli yang telah diucapkan berabad-abad!). “dalam ekaristi umat kristen yang bersama-sama secara sakramental berada dalam memori yang hidup akan Yesus, mereka dimampukan untuk terlibat dalam pelayanan Yesus, seperti kesaksian, pembebasan, penderitaan, dan termasuk juga konfrontasi dengan kekuasaan politis yang menindas. Melalui ingatan akan kematian dan kebangkitan Yesus itu berbagai bentuk ketidakadilan akan dilawan.” (Montoya:2009). Oleh karena itu ingatan yang hidup dalam perjamuan Tuhan itu, meminjam istilah dari J.B. Metz, dapat disebut sebagai ingatan yang berbahaya, ingatan yang memiliki daya kekuatan untuk bertindak dan mengoreksi situasi pada masa kini.
Di sini akan sedikit dipaparkan beberapa aspek sosial-etis yang melekat dalam perjamuan Tuhan yang selama ini kita rayakan. Harapannya untuk merangsang kita menggumuli dan menghidupi perjamuan Tuhan secara nyata dalam konteks keberadaan kita. Implikasi sosial-etis yang mau dikemukakan antara lain mengenai kesatuan, kesetaraan, penerimaan, solidaritas, dan pewartaan keadilan. Tentu masing-masing pokok bisa didalami dan didiskusikan kembali, khususnya berkenaan dengan konteks GITJ. Bila itu terjadi berarti tujuan dari tulisan ini berhasil, yaitu sebagai rangsangan berefleksi.

1.     Kesatuan
Perjamuan Tuhan selalu terkait dengan persekutuan. Perjamuan Tuhan menjadi persekutuan Yesus dengan umat yang bersekutu. Merayakan perjamuan Tuhan sekaligus merayakan persekutuan itu sendiri. Roti yang dipecah-pecah menjadi lambang bahwa umat adalah Tubuh Kristus. Sebagai tubuh Kristus maka para murid diingatkan untuk menjadi satu. “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (I Korintus 10:16-17)
Melalui perjamuan Tuhan umat diingatkan kembali jati dirinya sebagai satu tubuh yang bersatu. Montoya, seorang teolog Meksiko, mengungkapkan dengan tepat: “dilihat dari kata-kata yang diucapkan maupun dari sisi ritualnya, makanan dalam perjamuan Tuhan juga bermakna politis: itu adalah sebuah praktik yang membayangkan suatu persekutuan ilahi, di mana terjadi persekutuan yang kudus antara umat satu dengan yang lainnya dan dengan Allah yang mencintai persekutuan umat. Dimensi politis dari persekutuan ilahi berbicara mengenai pemberian makan sebagai satu tubuh Kristus. Persekutuan tubuh Kristus ini merupakan “perundangan yang berkembang tiada akhir” dari suatu perubahan yang positif, perbedaan yang harmonis, ralasi yang saling bertimbal-balik, dan cinta kasih yang mendalam. (Montoya: 2009, 114-5).
Jadi kesatuan umat dalam perjamuan Tuhan merupakan sesuatu yang sakral. Oleh karena itu, adalah sebuah penghianatan dan sebuah kebohongan besar apabila gereja merayakan perjamuan kudus, memecah-mecah roti dan memakannya bersama-sama sebagai lambang tubuh Kristus, tetapi di dalamnya terjadi perpecahan! Sederhananya: bagaimana mungkin kita merayakan kesatuan Tubuh Kristus dalam perjamuan Tuhan kalau ternyata secara riil kesatuan itu tidak terwujud? Bukankah itu sebuah kebohongan dan kepalsuan? Aneh rasanya kalau gereja masih melakukan perjamuan Tuhan bila tidak ada kesatuan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, pendadaran perjamuan Tuhan perlu dilakukan tidak sekedar mempersiapkan orang menjadi suci sesaat menjelang perjamuan, tetapi juga mempersiapkan jemaat untuk mau bersatu, berdamai satu dengan yang lainnya, bahkan dengan orang di luar jemaat sekalipun. Memang akan menjadi masalah kalau jemaatnya rukun-rukun saja tetapi para elit gerejanya (pendeta/majelis) yang tidak rukun. Kalau itu terjadi mungkin jemaatlah yang bisa merukunkan dan menggembalakan mereka.
Menciptakan kesatuan memang menuntut kedewasaan. Kesatuan tidak berarti penyeragaman. Perbedaan-perbedaan pasti akan ada sesuai dengan kesejatian diri manusia yang unik satu dengan yang lainnya. Tetapi perbedaan seharusnya tidak menjadi penghambat bagi persatuan kalau setiap orang memiliki keterbukaan, penerimaan, dan perangkulan terhadap yang lain yang berbeda (Volf: 1995). Yesus tidak pernah meminta muridnya untuk menjadi sama atau seragam, tetapi Yesus meminta murid-muridnya untuk menjadi satu (Doa perpisahan Yesus dalam Yohanes 17). Penyamaan akan cenderung menghasilkan dominasi, karena yang berbeda dipaksa untuk menjadi sama atau kemungkinan lain akan disingkirkan. Di situlah terjadi yang namanya hegemoni (penguasaan terhadap yang lain). Kesatuan berarti yang berbeda-beda memiliki kemauan dan niat untuk menerima, mengakui, dan bersedia bersama-sama dengan yang lain
Sayangnya selama ini kesatuan sering dimaknai secara simbolis dalam bentuk kesamaan. Segala sesuatu harus sama dan seragam. Ada anggapan bahwa penyeragaman adalah bentuk dari kesatuan. Justru bisa saja terjadi bahwa penyeragaman simbol-simbol dapat menjadi topeng palsu untuk menyembunyikan perpecahan. Dalam arti kalau semua terlihat seragam kita menjadi puas, mulai dari potongan rambut, pakaian, toga, sepatu, lalu berpikir dengan itu kita bersatu. Itu kan cuma kulitnya. untuk apa repot-repot menyeragamkan kulit kalau prinsip kesatuan masih perlu banyak dibenahi. Toh?

2.     Kesetaraan
Sebagai sebuah persekutuan, perjamuan Tuhan juga menjadi tanda dari kesetaraan. Persekutuan itu dilandasi oleh kasih Allah dan kasih Allah itu membuat semua orang menjadi setara (I Korintus 12:13).  Semua duduk semeja dengan Tuhan tidak ada yang lebih rendah tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada tuan atau hamba, tidak ada bos atau bawahan, tidak ada yang lebih suci atau yang kurang suci. Kesetaraan dalam perjamuan Tuhan ini menjadi sebuah perwujudan yang sakral dari kehidupan. Dengan kata lain perjamuan Tuhan ini menjadi tantangan bagi kehidupan sosial masyarakat yang tersekat-sekat, entah karena kekayaan, jenis kelamin, warna kulit, kekayaan, dsb. Di perjamuan Tuhan semua setara dan menjadi tanda ideal dari kehidupan umat.
Dalam sejarah, kira-kira sampai abad kedua kesederajatan masih nampak jelas dalam persekutuan umat. Gary Macy seorang sejarawan yang meneliti tulisan Justinus Martir mengatakan demikian: “perayaan liturgi jemaat awal sungguh-sungguh perayaan komunitas, dan tampaknya tidak ada perbedaan yang jelas di antara mereka yang memimpin liturgi dan siapa yang tidak. Lebih tepat lagi, tidak ada yang memimpin liturgi; setiap orang tampak berbakti bersama-sama.” Namun memasuki abad keempat, gereja mengalami perubahan yang sangat besar. Pada waktu itu Kaisar Konstantin telah menetapkan kekristenan sebagai agama negara. Hal ini berakibat pergeseran struktur gereja, dari model yang mengedepankan kesederajatan menjadi model yang hirarkis (bertingkat/tidak setara). Hal ini juga masuk dalam praktik ibadah. Bahkan pemaknaan dari perjamuan Tuhan secara teologis pun dipahami secara hirarkis. Perjamuan Tuhan lewat roti dan anggur dimaknai sebagai berita pengampunan di mana jemaat dipandang sebagai orang berdosa dan para pemimpin gereja yang melayankan pelayanan itu  menganggap dirinya sebagai wakil Kristus yang (tidak berdosa dan berhak memberi pengampunan). Perjamuan Tuhan dipahami sebagai sebuah makanan yang di import untuk mencapai tujuan keselamatan yang kekal bagi pribadi-pribadi yang beribadah. Sedangkan kapasitas dari Perjamuan Tuhan yang membentuk karakter para murid Kristus dikaburkan dengan pengabdian yang berujung pada pemahaman eklesiologi gereja-negara.
Sebenarnya gereja mennonite berusaha mengembalikan makna persekutuan dan kesetaraan dalam gereja, termasuk dalam pemahaman tentang perjamuan Tuhan. Kesetaraan ini menjadi ciri utama dari gereja-gereja mennonite, atau katakanlah itu sebagai sesuatu yang diidealkan oleh gereja mennonite. Namun cukup aneh kesetaraan dan kesatuan dalam ibadah gereja mennonite di Indonesia kurang begitu nampak, bahkan cenderung birokratis. Simbol-simbol dan liturgi dalam peribadahan sangat tidak mencerminkan teologi yang telah diyakininya. Mungkin karena pengaruh kultur Jawa yang agak feodal atau pengaruh tradisi gereja lain yang dasar pemahaman eklesiologinya berbeda. Tetapi tidak masalah selama dalam praktik berjemaatnya tetap tercipta kesetaraan dan kesatuan. Minimal kesetaraan gender di dalam jemaat yang selama ini cukp memprihatinkan. Semoga.

3.     Penerimaan
Tradisi perjamuan Tuhan sebenarnya berakar dari tradisi Yahudi. Bentuknya adalah makan bersama. Makan bersama merupaka sebuah tanda kebersamaan, persekutuan, dan persaudaraan. Di dalam Injil kita melihat bagaimana Yesus juga beberapa kali melakukan perjamuan bersama pada murid-Nya maupun orang-orang yang dianggap sebagai orang berdosa (misalnya Zakheus). Bahkan pemberian makan 5000 orang dapat juga dikatakan sebagai sebuah gambaran perjamuan besar Yesus dengan semua orang. Lihatlah rumusan yang digunakan di sana, yaitu Yesus “mengambil, mengucap berkat, memecah-mecah dan membagikan” (Mrk. 6: 41).
Dari beberapa kisah perjamuan yang dilakukan Yesus maupun dengan melihat makna dari perjamuan itu sendiri, dapat dipahami bahwa perjamuan Tuhan merupakan tanda penerimaan dan perangkulan Yesus terhadap orang-orang berdosa. Mereka yang selama ini disingkirkan oleh institusi agama Yahudi, oleh Yesus dirangkul dengan tanda makan bersama. Ini kemudian menjadi karakteristik yang sangat kuat dalam diri Yesus. Ia datang mengasihi orang berdosa, orang yang tersingkirkan oleh kesucian institusi agama. Itulah sebabnya banyak para petinggi Yahudi yang protes dan menentng Yesus karena praktik yang dilakukan Yesus. Para imam, kaum farisi, dan ahli Taurat sangat mengutamakan politik kesucian dalam agama. Sedangkan Yesus mengutamakan politik belas kasih. Politik kesucian akan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak suci. Tetapi politik belas kasih akan merangkul mereka yang dianggap tidak suci untuk selanjutnya diubah menjadi lebih baik. Dengan demikian tindakan Yesus yang mau makan bersama orang-orang berdosa merupakan tindakan perlawanan terhadap institusi agama Yahudi pada waktu itu. Makan bersama menjadi simbol perjamuan Tuhan, simbol penerimaan dan kehadiran Tuhan bersama mereka.
Perjamuan Tuhan yang dirayakan gereja pada prinsipnya juga sama. Merayakan cinta kasih Allah kepada manusia dalam pengorbanan Kristus! Tetapi sayangnya gereja kemudian terjebak dalam politik kesucian ala petinggi Yahudi. Kenapa? Karena sering kali perjamuan Tuhan dimaknai sebagai perjamuan orang-orang suci. Ditambah lagi dengan penggunaan istilah ‘perjamuan kudus’ yang bisa ditafsrikan berbeda-beda. Biasanya mereka yang dianggap tidak suci atau terkena disiplin gereja dilarang mengikuti perjamuan Tuhan ini. Gereja memberi disiplin bagi orang yang berdosa dengan maksud menggembalakan mereka supaya mereka bertobat dari kesalahannya dan diperkenankan masuk dalam perjamuan Tuhan. Logikanya mereka bertobat dulu, menyucikan dulu baru layak menerima perjamuan. Ini pemahaman disiplin gereja yang secara turun-temurun diwarisi tanpa dipertimbangkan secara kritis substansi dan relevansinya. Lucunya selama ini disiplin gereja hanya dikenakan pada mereka yang terkena kasus berkenaan dengan masalah seksualitas. Mungkin dalam kultur kita hal-hal yang “saru” itu dimaknai sebagai dosa besar. Tetapi jarang saya mendengar orang yang korup dan tidak jujur atau yang menindas orang lain dikenakan disiplin gereja. kenapa? Karena dosa dimaknai sebagai sesuatu yang individual. Tetapi terlepas dari itu nampaknya disiplin gereja menjadi pengawal politik kesucian gereja. Inilah anehnya: ketika Yesus justru datang dan menerima orang-orang berdosa sehingga mereka merasakan cinta kasih Allah, gereja justru menyingkirkan dan menendang keluar mereka dari persekutuan dengan Allah dan sesama dalam perjamuan Tuhan! Padahal sesungguhnya yang merasa paling beruntung dalam perjamuan Tuhan adalah mereka yang berdosa, karena perjamuan menjadi peringatan bahwa Allah memanggil, menerima, mengampuni dan mengasihi mereka. Allah tidak membuang mereka, tetapi merangkul dan mengasihi mereka. Hanya dengan perasaan bahwa dirinya dikasihi dan diterima sajalah orang bisa berubah! Jadi logika kita perlu diubah. Bukan orang yang suci dulu baru diikutkan dalam perjamuan kudus, tetapi orang berdosa pun diundang, disapa, dan dirangkul dalam perjamuan Tuhan sehingga mereka mengalami kasih Allah dan berubah. Itulah politik belas kasih Yesus. Oleh karena itu juga di sini saya cenderung lebih memilih menggunakan istilah perjamuan Tuhan dari pada perjamuan Kudus. Perjamuan Tuhan adalah tanda penerimaan dan undangan dari Tuhan sang rahmat kepada semua orang.

4.     Solidaritas
Komunitas kristen mula-mula merayakan perjamuan Tuhan dengan nyata, yaitu makan bersama! Jadi perjamuan Tuhan atau ekaristi adalah sungguh-sungguh perjamuan. Jagan dibayangkan bahwa jemaat mula-mula merayakan perjamuan Tuhan seperti gereja sekarang yang kaku dan dibuat menegangkan (katanya biar khidmat dan terkesan sakral).
Dalam perjamuan tersebut, umat diajak untuk saling berbagi. Itulah sesungguhnya sesuatu yang kudus dalam perjamuan Tuhan, yaitu ketika orang mau berbagi! Itu jelas dalam I Korintus 11:20- yang sering kali dikutip dalam perjamuan kudus. Kekudusan tidak hanya dimaknai secara dogmatis tetapi juga secara etis. Permasalahan utama dalam 1 Korintus 11:20-34 adalah adanya penyelewengan dalam praktik perjamuan Tuhan. Karena mereka melaksanakan perjamuan Tuhan dengan makan bersama, maka mereka membawa makanan dari rumah lalu dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Waktu itu ada masalah karena ada orang-orang tertentu yang rakus dan makan sangat banyak sehingga ada anggota jemaat yang kelaparan dan tidak bisa makan. Di situlah Paulus menghimbau supaya orang menguji diri. Artinya jangan serakah! Bahkan dengan cukup tegas paulus menyarankan supaya orang makan dulu di rumah baru datang dalam perjamuan biar tidak rakus.
Kepedulian dan solidaritas satu dengan yang lainnya itu begitu kuat sehingga tidak ada yang kelaparan atau berlebihan (I kor 11:21). Tidak hanya dalam perjamuan Tuhan saja, kepedulian satu dengan yang lainnya juga diwujudkan dalam hidup keseharian mereka. Bahkan Aristides, sejarawan kuno, pernah mencatat tentang solidaritas jemaat kristen awal sebagai berikut: “jika salah seorang dari mereka miskin dan tidak cukup makanan, mereka berpuasa selama beberapa hari dan memberikan dia makanan… komunitas itu adalah sungguh-sungguh orang yang baik. Ada sesuatu yang ilahi di dalam mereka”. (Tissa Balasuria: 1979). Jadi jemaat yang mencerminkan tubuh Kristus adalah jemaat yang di dalamnya terkandung tanggung jawab, kepedulian, dan kesediaan untuk berbagi dengan saudara-saudara yang miskin dan berkekurangan. Tidak hanya dalam jemaat setempat saja, tetapi juga terhadap jemaat-jemaat lain (I Kor 16:1-2; 2 Kor 8:13-14). Selanjutnya memang solidaritas ini tidak hanya dalam sekat-sekat gerejawi saja. Nilai-nilai perjamuan Tuhan dapat diwujudkan di tengah-tengah dunia dalam wujud solidaritas umat/gereja dengan masyarakat yang ada. Jelas ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi kita di masa kini. Sering kali bukan solidaritas yang sering menjiwai, tetapi egoisme diri yang menghisap orang lain untuk diri sendiri.

5.     Pewartaan Keadilan
Bagi orang Yahudi, perjamuan Tuhan memiliki arti yang sangat penting. Ini menjadi peringatan akan hari pembebasan mereka dari perbudakan di Mesir. Inilah paskah, saat bagi mereka untuk mengingat bahwa Allah bertindak membebaskan mereka. Dalam tradisi Kristen, pelaksanaan Perjamuan Tuhan juga sangat dekat dengan Paskah. Hal ini disebabkan karena perjamuan terakhir yang dilakukan Yesus bersama para murid-Nya menjelang kematian-Nya diadakan dalam rangka perayaan paskah Yahudi. Selanjutnya umat Kristen memaknai peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa paskah, tidak hanya karena waktunya berdekatan dengan paskah Yahudi, tetapi juga memiliki keterkaitan makna. Paskah adalah perayaan pembebasan. Bagi orang kristen Paskah menjadi peristiwa pembebasan umat dari perbudakan dosa menjadi umat baru yang di bawah kendali Allah.
Namun sayangnya Paskah kemudian dimaknai sangat rohaniah belaka. Pembebasan dosa selalu dimengerti sebagai dosa-dosa individual saja. tentu ini pemahaman yang bias. Kemenangan Kristus atas maut juga bermakna secara sosial. Dalam arti bahwa perwujudan kuasa jahat dan dosa tidak hanya mewujud dalam hal-hal individual tetapi juga dapat mewujud dalam sebuah sistem sosial yang jahat. Saat ini kekerasan, penindasan, ketidakadilan, korupsi, adalah wajah-wajah dari kuasa jahat yang ada di sekitar kita.
Lalu apa hubungannya itu semua dengan perjamuan Tuhan (perjamuan kudus)? Setidaknya ada dua hal. Pertama, perjamuan Tuhan menjadi sebuah ingatan bahwa Allah telah berkarya membebaskan manusia dari berbagai macam bentuk perbudakan. Melalui Yesus yang telah bangkit, kuasa jahat yang memperbudak manusia telah dikalahkan. Oleh karena itu melalui perjamuan Tuhan gereja diingatkan untuk tetap optimis bahwa berbagai macam bentuk kejahatan sosial bisa dilawan. Kedua, perjamuan Tuhan juga merupakan sebuah proklamasi iman dan sebuah panggilan bagi gereja untuk mewartakan kabar pembebasan dan pengharapan bagi dunia. Gereja tidak bisa diam melihat berbagai perwujudan dari kuasa jahat terjadi di masyarakat. Ketika gereja diam di saat terjadi ketidakadilan, penindasan, pembodohan, sesungguhnya gereja juga mendiamkan semangat dan berita Paskah. Apalagi ketika gereja dikuasai dan dibungkam oleh kekuasaan politik misalnya, maka gereja menjadi hamba penguasa dan bukan hamba Allah yang telah dibebaskan.
 “Ah, sepertinya terlalu lebay. Terlalu muluk-muluk dan idealis. Yang wajar-wajar sajalah, yang konkrit, gak usah tinggi-tinggi harapannya.”
OK lah kalau begitu. Hal paling kongkrit yang harus dilakukan adalah gereja perlu menghidupi kemenangan Kristus di dalam gereja terlebih dahulu. Artinya gereja perlu menyingkirkan berbagai bentuk keculasan dan praktik-praktik kotor dari dalam gereja. Hanya ketika gereja membebaskan diri dari praktik-praktik demonik (setani) seperti kekerasan, kecurangan, perpecahan, termasuk juga rebutan harta dan kekuasaan, gereja bisa merayakan Paskah dan merayakan perjamuan Tuhan. Gereja menjadi komunitas yang merdeka. Apakah ini masih dianggap idealis? Ya ditutup saja.


Bacaan Lanjut:
Angel F. Mendez Montoya, The Theology of Food: Eating and the Eucharist, (Wiley-Blackwell Pub, 2009)
J.B.Metz, Faith in the History and  Society: Toward A Practical Fundamental Theology, (New York: Seabury Press, 1980).
Miroslav Volf, Exclude and Membrace, (Abingdon Press, 1996)


[*] Penulis adalah salah satu pengajar (calon pembantu pendeta) GITJ Jepara. Saat ini masih belajar di Program Pasca Sarjana Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (PPST-UKDW) Yogyakarta,  progam M.Th

"Pemborosan" yang Berkenan di Hadapan Tuhan

"Pemborosan" yang Berkenan di Hadapan Tuhan
Metode Penafsiran Analisis Naratif
Pengurapan Yesus di Betania
(Markus 14:1-9)
oleh: Pdt. Agus Supratikno, M.Th

Pengantar
            Kisah pengurapan Yesus dengan minyak Narwastu di Betania yang fenomenal memiliki daya magnet tersendiri bagi penulis-penulis Injil dan juga pembaca Injil.  Mungkin itulah sebabnya para penulis Injil mencantumkan kisah tersebut, meskipun dengan cara penuturan yang berbeda.  Kita melihat bahwa tindakan perempuan yang mengurapi Yesus, mendapat reaksi keras dari para murid Yesus. Hal itu disebabkan karena mahalnya harga minyak narwastu tulen tersebut, yang jika dijual dapat laku 300 dinar. Dan uang 300 dinar tersebut sebenarnya dapat dipakai untuk membantu orang-orang miskin.
            Memang jika dilihat dari sudut ekonomi itu sungguh suatu pemborosan dan tindakan yang berlebihan.  Karena uang 300 dinar itu cukup besar jika dibandingkan dengan upah buruh pada saat itu yang hanya 1 dinar sehari(Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, p. 519). Sedangkan kalau dilihat dari “seni” memakai parfum, apa yang dilakukan oleh Maria ini sama sekali tidak memiliki nilai “seni”. 
Namun apapun penilaian para murid dan juga penilaian saya tentang tindakan perempuan itu, yang pasti Yesus justru memujinya dan menganggap hal itu sebagai perbuatan baik (a good work).  Mengapa Yesus justru membela bahkan memuji tindakan perempuan tersebut.  Mengapa sesuatu yang dianggap “pemborosan” justru berkenan di hati Tuhan? Apakah maksud perkataan Tuhan Yesus dengan mengatakan: “Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, dan kamu dapat menolong mereka, bilamana kamu menghendakinya, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.”(Markus 14:7).  Apakah dengan perkataan-Nya itu, Ia sedang membandingkan pelayanan terhadap orang-orang miskin dengan pelayanan terhadap Dia, dan yang terpenting adalah melayani Dia dan mengabaikan pelayanan sosial terhadap orang miskin?  Dengan demikian dapat dijadikan legitimasi bagi gereja-gereja untuk mengabaikan pelayanan sosial terhadap orang-orang miskin, dan bersikap eksklusif dengan hanya mengejar kepuasan rohani dalam ritualisme dan formalisme saja.
Untuk mendapatkan pemahaman yang benar, atau setidaknya dapat memaknai kisah tersebut, penulis menggunakan metode analisis naratif.  Metode analisis naratif adalah metode yang paling simple dan murah untuk menginterpretasikan Alkitab.  Karena sebenarnya hanya dengan menggunakan Alkitab saja sudah dapat membangun sebuah kotbah atau tulisan.  Kalau dalam tulisan ini saya menggunakan referensi tambahan, sebenarnya itu tidak diharuskan, itu bukan yang utama. Tulisan ini juga dikandung maksud agar kaum awam yang tidak banyak memiliki buku-buku teologi atau tafsir Alkitab dapat belajar bagaimana menafsirkan Alkitab dengan hanya bermodalkan Alkitab saja.  
Metode Analisis Naratif.   
            Dalam metode analisis naratif yang perlu dipahami adalah unsur kesatuan cerita, setiap bagian-bagian cerita harus dipahami sebagai bagian dari seluruh cerita. Karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, kita perlu menikmati aliran dari tiap adegan cerita sebagaimana adanya.  Namun demikian untuk kepentingan analisis, unsur-unsur dalam sebuah cerita dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:  segi isi dan segi bentuk1
Dari segi isi yang dianalisis adalah apa yang diceritakan, sedangkan dari segi bentuk, analisis dipusatkan pada cara atau bagaimana cerita diungkapkan..  Akan tetapi tentu ada beberapa bagian dari cerita yang menjadi sorotan utama atau fokus analisis.  Dalam analisis segi isi, analisis difokuskan pada: latar cerita (setting), tokoh cerita dan alur cerita (plot).    Sedangkan dari segi bentuk akan dilihat sisi inklusio (pembingkaian).
Analisis dari Segi Isi.
1.  Latar Cerita(setting).
            Latar cerita merupalan “panggung” dimana cerita mulai digelar, latar cerita meliputi: tempat, waktu, dan suasana.  Hal ini sangat penting untuk memahami latar belakang dari peristiwa yang dipotret dan menjadi fokus utama analisis.
a.  Waktu.
Markus 14:1, menunjukkan pada kita bahwa  waktu peristiwa pengurapan terjadi dua hari sebelum Hari Raya Paskah dan hari Raya Roti Tidak Beragi, ”Jewish Passover feast”( Markus 14:2, John 2:13, 23; 6:4;11:55).  Hari persiapan (the day of preparation), biasanya disebut sebagai hari pertama hari raya roti tidak beragi (the first day of the feast of unleaved bread, bnd; Markus 14:12).2   Kronologis tentang minggu Paskah memang cukup sulit ditentukan, hal itu dikarenakan dua sistem pemakaian waktu dipakai pada masa itu, sistem Romawi, hari baru diawali tengah malam (midnight), sedangkan sistim Yahudi, dimulai pada waktu petang (sunset)3
Jika mengacu pada penanggalan Yahudi kemungkinan besar itu menunjuk pada Selasa petang yang dalam penanggalan Yahudi berarti juga awal Rabu.  Tetapi dilihat dari analisis naratif, maka hal itu adalah sebagai bagian dari cara penuturan atau penceritaan Markus. Markus menempatkan dua peristiwa penting diantara pengurapan dan penyaliban yaitu upaya Imam-imam kepala dan Ahli Torat untuk membunuh Yesus(14:1b-2) dan penghianatan Yudas(14:10-11). Kedua peristiwa itu terjadi dalam rentangan waktu antara pengurapan dan penyaliban. Dengan demikian jalan cerita dapat mengalir secara logis.  
b. Tempat.
Markus 14:3, menjelaskan bahwa peristiwa pengurapan Yesus oleh Maria terjadi di Betania, di rumah Simon si Kusta.  Betania adalah juga tempat tinggal sahabat-sahabat dekat Yesus, diantaranya adalah Maria dan Marta yang adalah saudara Lazarus yang dibangkitkan dari antara orang mati(Yohanes 11:1).  Memang ada perbedaan berkaitan dengan rumah tempat perjamuan diadakan, Injil Matius dan Markus menuliskan bahwa peristiwa itu terjadi di rumah Simon si Kusta, sedangkan Yohanes di rumah Lazarus.  Ada beberapa penjelasan berkaitan dengan perbedaan tersebut diantaranya adalah mungkin Simon adalah saudara dekat Lazarus, Maria dan Marta, tetapi tidak ada teks yang menjelaskan hal itu.  Dalam penafsiran analisis naratif hal tersebut bukan menjadi hal yang utama.  Dua hal penting, berkaitan dengan tempat dalam kisah ini adalah: 
Pertama, Betania, lokasinya sebagai berdekatan dengan Yerusalem. Yesus adalah domba Paskah yang sebenarnya yang akan dikorbankan bagi bangsaNya dan bagi seluruh umat manusia.  Yesus datang ke Betania  adalah sebagai tempat persiapan bagi Domba Paskah yang akan dikorbankan di Yerusalem.
            Kedua, Betania adalah tempat dimana sahabat-sahabat yang mengasihi Yesus tinggal.  Menjelang penyaliban-Nya, Yesus bersama sahabat-sahabat dekat yang mengasihiNya.  Sebagaimana kebanyakan orang, ketika menghadapi saat-saat terberat dalam hidupnya, kerinduan yang terbesar adalah ada bersama sahabat-sahabat terdekat yang mengasihinya

2.  Tokoh Cerita.
            Tokoh cerita meliputi, tokoh utama, tokoh pembela, tokoh musuh, dan tokoh netral.  Pembagian penokohan ini didasarkan pada peranan mereka pada kisah tersebut.
a.  Tokoh Utama. 
Dalam kisah pengurapan Yesus di Betania, yang menjadi tokoh utama seorang perempuan, Markus tidak menyebutkan siapa nama perempuan ini. Tidak jelas apa alasan Markus tidak mencantumkan nama perempuan itu, mungkin bagi dia yang penting adalah tindakan yang dilakukan oleh perempuan itu bukan siapa perempuan itu.  Tetapi dalam Yohanes 12:3, dikatakan perempuan itu sebagai Maria. Maria inilah yang menjadi tokoh utama dalam kisah pengurapan. Karena dia dan tindakannyalah yang menjadi fokus perhatian dari semua tokoh-tokoh yang lain yang ada dipesta perjamuan di Betania.
b.Tokoh Penghalang.  
Tokoh penghalang dalam kisah pengurapan ini adalah murid-murid Yesus dan secara khusus Yudas Iskariot.  Karena merekalah yang menentang perbuatan Maria mengurapi Yesus dengan minyak Narwastu murni yang mahal harganya.
c. Tokoh Pembela. 
Dalam kisah pengurapan ini, Yesus adalah tokoh pembela, karena Dialah yang membela apa yang dilakukan oleh Maria, dan menganggap itu sebagai perbuatan baik.
Bahkan Yesus menganggapnya sebagai persiapan bagi penguburan-Nya.
d. Tokoh Netral. 
Tokoh netral dalam kisah ini adalah: Simon si Kusta, Lazarus, Marta, karena teks tidak menceritakan respons mereka terhadap tindakan Maria. 
3.  Alur Cerita.
a.   Alur Cerita dalam Rangkaian Utuh Injil Markus
Untuk melihat pentingnya peristiwa yang penulis potret yaitu “pengurapan Yesus” maka perlu dilihat tempat peristiwa itu dalam rangkaian cerita Injil Markus secara menyeluruh dan utuh.  Berikut ini garis besar Injil Markus4

1.     Permulaan(1:1-13).
2.     Yesus Messias menyatakan Pemerintahan Allah, tetapi Dia tidak diterima((1:14-8:26)          
      2. 1.  Kuasa Yesus dan kedegilan kaum Farisi (1:14-3:6).
      2. 2.  Kegiatan Yesus makin meluas dan ketidak percayaan orang (3:7-6:6a).
2. 3.  Yesus memberi keselamatan kepada orang Yahudi dan bukan Yahudi dan     kebutaan para murid (6:6b-8:26)
3.  Yesus menyatakan diri sebagai Messias yang menderita dan bangkit di
     Yerusalem  dan hal mengikut Messias (8:27-16:8a).
     3. 1.  Yesus akan menderita dan bangkit dan hal mengikut Dia (8:27-10:52).
     3. 2.  Yesus raja orang Yahudi di Yerusalem (11:1-16:8a).
               3. 2. 1.  Pekerjaan Yesus di Bait Allah dan sekitarnya (11:1-13:37).
                 3. 2. 2.  Penyerahan, penderitaan dan kematian Yesus (14-15)
                 3. 2. 3.  Kebangkitan dan kenaikan Yesus ke Sorga (16)
Dari garis besar rangkaian cerita Injil Markus maka pengurapan Yesus masuk dalam rangkaian kisah penderitaan dan kematian Yesus. Hal ini akan  kita lihat lebih detail dalam pembahasan tentang analisis dari segi bentuk.
III.   Analisis dari Segi Bentuk (Retorika).
a.     Analisis Segi Bentuk dalam Rangkaian Kisah Penderitaan dan penyaliban.
Untuk melihat bagaimana segi retorika yang dibangun oleh pencerita marilah kita melihat secara menyeluruh rangkaian kisah penderitaan dan kematian Yesus.
1.   Imam-imam kepala dan ahli-ahli Torat mencari jalan untuk menangkap dan
      membunuh Yesus dengan tipu muslihat(!4:1b-2).
2.     Maria mengurapi Yesus dengan minyak Narwastu murni di Betania(14:3-9).
3.     Yudas Iskariot bermaksud menyerahkan Yesus kepada para Imam(14:10-11).
4.     Yesus makan perjamuan Paskah dengan murid-muridNya(14:12-31).
5.     Yesus di taman Getsemane(14:32-42).
6.     Yesus ditangkap dan dibawa dihadapan Mahkamah Agama(14:43-65).
7.     Petrus menyangkali Yesus(14:66-72)           .
8.     Yesus dihadapan Pilatus dan diolok-olok(15:1-20).
9.     Yesus disalibkan dan dikuburkan(15:20b-47).

Bila kita melihat segi bentuk (retorika), dari rangkaian kisah penderitaan dan penyaliban Yesus maka kisah pengurapan di Betania menjadi sangat menarik, bukan saja karena si pencerita menempatkannya pada awal kisah kesengsaraan dan kematian Yesus, tetapi juga karena kisah pengurapan itu ada ditengah-tengah kisah-kisah lain yang kontradiktif yaitu kisah kebencian, penghianatan, penyangkalan, penghinaan, tipu muslihat, dan puncaknya penyaliban Yesus.
            Menarik sekali bahwa pencerita membingkai kisah pengurapan dalam kisah penderitaan dan penyaliban, kisah yang berdarah-darah. Sehingga apa yang diperbuat Maria menjadi nampak sungguh- sungguh sangat berharga.  Ditengah-tengah kebencian, penghianatan, penyangkalan, penghinaan, penolakan dan penyaliban, ada pernyataan kasih yang tulus dari seorang sahabat-Nya yaitu Maria.
b.    Analisis Segi Bentuk dalam Paragraf Kisah Pengurapan.
Untuk memahami lebih detail dinamika dari cerita marilah penting bagi kita untuk melihat setiap adegan dari paragraf dimana kisah pengurapan terjadi:
Adegan 1:
Yesus dijamu oleh sahabat-sahabatnya, mungkin semacam perjamuan malam sebagai bentuk ucapan syukur.  Lihat beberapa diantara yang hadir adalah orang-orang yang telah mengalami cinta kasih Yesus, seperti: Simon si Kusta,  Lazarus adalah saudara Maria dan Marta yang dibangkitkan dari antara orang mati(14:3a)
Adegan 2:
  Maria mengambil minyak Narwastu murni yang mahal harganya dan
mengurapi kepala Yesus (14:3b).
Adegan 3:
Para murid bereaksi dan memarahi Maria, menganggap hal itu sebagai pemborosan.  “Sebab minyak ini dapat dijual 300 dinar lebih dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin.” Para murid memarahi perempuan itu(14:3b).  
Adegan 4:
Yesus membela Maria dan menganggap perbuatan Maria sebagai suatu perbuatan baik, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik padaKU.”
 “A good (kalon: nobel beautiful, good) work”4. (Bnd; agathos: a primary word “good”(in any sense often as noun)”5   Memang dalam beberapa versi Alkitab diterjemahkan secara berbeda, a good work (King James), a beautiful thing (NIV).  Tidak seperti para murid, Yesus justru melihat perbuatan maria bukan sebagai pemborosan melainkan sebagai sesuatu yang bukan saja baik tetapi memiliki nilai keindahan sebagai ekspresi dari kasih dan penyembahan (devotion) yang keluar dari hati yang dalam.  Bahkan Yesus mengatakan sebagai persiapan bagi penguburan-Nya.
“Karena orang miskin selalu ada padamu dan kamu dapat menolong mereka bila kamu menghendakinya, tetapi aku tidak akan selalu bersama-sama kamu. Dan hal itu juga dikatakan Yesus sebagai persiapan penguburan-Nya. Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya.  TubuhKu telah diminyakinya sebagai persiapan penguburanKu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya dimana Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini disebut juga untuyk mengingat dia.”(14:7-9).
Dalam ayat 7, seakan Yesus mengkontraskan anatra pelayanan terhadap Dia  dan orang miskin. Orang miskin, ptokhos, orang yang tak mempunyai apa-apa, tuna tanah, tuna wisma, dan tuna karya. Orang yang hidupnya hanya mengandalkan pada pertolongan orang lain. Pada jaman itu cukup banyak orang yang termasuk golongan ptokhoi, karena kebijakan ekonomi Herodes menjadikan minoritas mampu menjadi semakin kaya, dan mayoritas mlarat menjadi semakin mlarat (fletcher, Lihatlah Sang Manusia, p.207). Ptokhos selalu ada padamu, dan para murid-murid dapat membantu mereka kapanpun mereka menghendaki.  Tetapi Yesus tidak akan selalu bersama mereka secara fisik, ingat konteks mempersiapkan penguburan-Nya. Sehingga kesempatan untuk mengekspresikan kasih kepadaNya selagi Dia ada ditengah-tengah mereka akan segera berakhir.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa titik pijak perbandingan bukan pada Yesus dan orang miskin tetapi pada kata always and not always.  Ptokhos selalu ada padamu dan kamu dapat menolong kapanpun engkau mau, tetapi Aku secara fisik tidak akan selalu ada bersama kamu.  Kesempatan untuk menyatakan cinta selagi Dia ada hadir secara fisik bersama mereka hampir habis, dan Maria menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Kesimpulan dan Refleksi
            Dari tafsir analitis naratif di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Tidak seperti para murid yang menganggap perbuatan Maria sebagai pemborosan, Yesus sebaliknya justru memuji tindakan pengurapan yang dilakukan oleh Maria sebagai sebuah perbuatan baik (a good work), bahkan bukan saja baik tetapi juga sesuatu yang indah (a beautiful thing). Yesus menilainya bukan sebagai “pemborosan” melainkan sebagai sebuah ungkapan kasih dan penyembahan (devotion) yang tulus dari Maria  sebagai persiapan penguburan-Nya
Kisah pengurapan itu menjadi lebih menarik, manakala kita melihat dari sisi “pembingkaian” dimana Markus membingkainya dalam kisah sengsara dan kematian Yesus. Diantara kisah yang diwarnai dengan kebencian, penghianatan, penyangkalan, penghinaan, fitnah, dan puncaknya penyaliban, ternyata masih ada seorang sahabat yang berkenan menyatakan kasih, penghormatan dan pemujaannya yang tulus.  Sungguh itu sesuatu yang indah dan sangat bernilai.
Dikala bayangan tangan-tangan penggenggam palu penghakiman menghantui, ketika puluhan mata menatap penuh curiga, dan tebaran senyum hina ditebarkan didepan mata.  Betapa indah dan berartinya kehadiran seorang sahabat yang dengan tulus mengasihi, mendukung, mendengarkan bahkan masih mau duduk bersama, memegang tangan atau bahu, meski tak sepatah kata terucap.       
Yesus tidak menganggap bahwa pelayanan terhadap orang-orang miskin tidak penting.  Perbandingan yang Tuhan jelaskan bukan antara pelayanan terhadap Dia dan pelayanan terhadap orang-orang miskin, melainkan terletak pada kata, always and not always. Apa yang Yesus katakan harus dilihat dari konteks keutuhan cerita, dalam hal ini adalah dalam bingkai kesengsaraan dan kematian Yesus.  Yesus tidak akan selalu ada bersama mereka secara fisik, sehingga kesempatan untuk mengekspresikan kasih mereka, selagi Dia ada bersama mereka akan berakhir.  Dan Maria menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya,
Demikian mestinya setiap orang percaya jangan mau kehilangan kesempatan yang dimiliki untuk mengekspresikan cintanya pada Tuhan.  Bagi Maria tidak ada yang lebih besar dari cinta kasih Tuhan Yesus.  Bagi dia tidak ada yang terlalu mahal untuk mengekspresikan cintanya pada Yesus.  Bukankah tidak ada yang terlalu besar untuk sebuah cinta dan sesuatu yang memiliki nilai kekal.
Yesus sama sekali tidak memperbandingkan antara pelayanan bagi Dia dan pelayanan sosial bagi orang miskin. Dalam pelayananNya Yesus sangat akrab dengan golongan ptokhos ini.  Bahkan dalam Matius 25:31-46, Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang orang yang miskin dan menderita.  
 Kehidupan gereja hendaknya dijauhkan dari sikap eksklusif dalam artian hanya mencari kepuasan rohani dalam ritualisme dan formalisme saja dan mengabaikan betapa banyak orang di luar sana yang memerlukan uluran tangan kasih orang percayaPelayanan apapun yang dilakukan bagi Tuhan dan sesama hendaknya merupakan ekspresi dari kasih dan ibadah (devotion) pada Tuhan.  Tak ada sesuatu yang terlalu besar dan mahal bila dibandingkan dengan kasih YesusAmin. 



1Bnd. Adji Sutama, Mengapa Kamu Menengadah ke Langit, ia menjelaskan bahwa Drewes dalam buku Satu Injil Tiga Pekabar membagi narasi dalam dua unsur yaitu unsur cerita dan penuturan yang kemudian dimodifikasi oleh Adji menjadi: unsur isi cerita dan cara cerita
2 John D. Grassmick, dalam The Bible Knowledge Commentary,  ed. John F. Walfoord and Roy B. Zuck. Canada: Vicktor Books, p.  174.
3 ibid
4B.E Drewes, Satu Injil TIga Pekabar,Jakarta; BPK Gunung Mulia, p.110-111, saya sedikit memodifikasi dengan memisahkan antara kisah penderitaan-penyaliban dengan kebangkitan dan kenaikan Yesus ke Sorga.
4ibid
5Inter Linier Bible,  Strong’s Definition, PC Study Bible For Windows.